Keseriusan Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas Puskesmas patut diacungi jempol. Hal ini terlihat dari kerja keras Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan dua pelatihan secara maraton dalam satu minggu penuh. Pelatihan dimaksud adalah pelatihan Basic Life Support/Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang diselenggarakan selama dua hari mulai 2-3 November 2009, kemudian diikuti dengan pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat (PPGD) selama empat hari mulai 4-7 November 2009. Pelatihan BHD diselenggarakan di gedung HSC Selosari sedangkan pelatihan PPGD bertempat di Hotel Rejeki Sarangan.
Sebagai salah satu Puskesmas di wilayah Kabupaten Magetan, Puskesmas Karangrejo mengirimkan delegasi untuk mengikuti pelatihan ini. Secara keseluruhan, Puskesmas Karangrejo mengirimkan tiga orang dokter, lima orang perawat dan tiga orang bidan untuk mengikuti dua pelatihan ini. Delegasi Puskesmas Karangrejo akan bergabung dengan delegasi lain dari 22 Puskesmas se Magetan.
Meskipun sekilas kedua pelatihan ini identik, namun terdapat beberapa perbedaan besar yang membedakan keduanya. Boleh dibilang bahwa pelatihan BHD merupakan pendahuluan dari pelatihan PPGD. Pelatihan BHD memberikan pengetahuan dan ketrampilan penanganan penderita gawat darurat secara pre-hospital, mulai dari penemuan korban di lapangan, cara memanggil bantuan, menstabilkan fungsi nafas dan sirkulasi serta cara mengevakuasi korban. Sedangkan pada pelatihan PPGD, hal-hal tersebut diulangi, diperdalam dan diperluas cakupannya. Peserta pelatihan mulai dikenalkan dengan bantuan definitif berupa pemasangan alat bantu untuk mempertahankan jalan nafas (intubasi), pembacaan EKG sederhana, hingga terapi medikamentosa untuk kasus-kasus gawat darurat. Terakhir, pelatihan PPGD juga menantang peserta dalam sebuah simulasi bencana di lapangan yang melibatkan lintas sektoral dari Polri dan Pemadam Kebakaran.
Dari kedua pelatihan tersebut ada sebuah materi yang paling digemari para peserta, dan mungkin menjadi oleh-oleh paling berharga yang akan diterapkan dalam tugas keseharian. Kebetulan materi ini juga merupakan materi dasar yang harus dikuasai oleh semua petugas medis, paramedis bakan orang awam sekalipun. Materi tersebuat tidak lain adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian usaha yang dilakukan penolong untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi kepada seseorang yang mengalami henti nafas dan henti jantung. Serangkaian usaha yang dimaksud di atas, dirangkai dalam akronim yang mudah diingat peserta pelatihan.
Menggunakan akronim “DR minta tolong ABC”, peserta menjadi mudah mengingat urutan tindakan yang dilakukan saat menghadapi kasus gawat darurat.
Adapun kepanjangan D adalah “Danger”. Artinya, sebelum melakukan semua tindakan pertolongan, penolong harus menilai potensi bahaya pada lokasi yang mungkin dapat mengancam penolong, korban atau orang lain di sekitar tempat kejadian. Penolong tidak boleh melakukan tindakan pertolongan yang akan membahayakan diri penolong sendiri ataupun memperberat kondisi keselamatan korban. Misalnya, jika korban ditemukan tergeletak di tengah jalan, penolong harus mengupayakan agar korban dipindah ke tepi jalan sehingga baik penolong maupun korban aman dari lalu lalang kendaraan.
R adalah “Respon”. Artinya, langkah selanjutnya yang harus dilakukan bila menemukan korban tidak sadar adalah memeriksa respon atau kesadaran korban. Respon pasien dinyatakan dengan derajat AVPU (Alert, Verbal, Pain dan Unresponsive). Alert untuk sadar penuh tanpa rangsangan dari luar, Verbal untuk merespon rangsangan suara dengan benar, Pain apabila ada respon terhadap rangsang nyeri berupa penekanan sternum dengan buku-buku jari tangan dan Unresponsive apabila sama sekali tidak ada respon.
“Minta tolong” menjadi langkah selanjutnya. Jika menemukan korban yang tidak memberikan respon atau tidak berespon dengan benar, maka penolong harus segera meminta bantuan orang lain. Langkah ini memiliki dua tujuan, pertama minta bantuan untuk dipanggilkan ambulan sehingga penolong akan mendapatkan bantuan tenaga yang lebih ahli dan alat yang lebih lengkap. Kedua, minta bantuan orang di sekitarnya untuk menjadi saksi tindakan pertolongan, sehingga tindakan pertolongan aman dari segi legalitas.
A adalah Airway. Pada tahap ini penolong berusaha membebaskan jalan nafas korban dari sumbatan. Sumbatan jalan nafas dapat berupa benda asing, cairan, darah, maupun lidah korban sendiri. Dalam pembebasan jalan nafas dikenal istilah Triple Airway Manuver, berupa chin lift-head tilt dan jaw thrust. Jika tidak ada kecurigaan cedera tulang belakang, teknik chin lift-head tilt menjadi pilihan. Teknik ini dilakukan dengan meletakkan ujung jari tangan pada dagu, kemudian mengangkatnya ke atas. Sedangkan tangan yang lain diletakkan di dahi kemudian dengan lembut menengadahkan kepala.
B adalah Breathing. Yakni menilai fungsi pernafasan korban melalui look, listen and feel. Pada ”look”, penolong melihat pergerakan pengembangan dinding dada korban. iartinya penolong berusaha mendengarkan bunyi hembusan nafas, sedangkan feel adalah penolong merasakan hangat nafas korban. Jika korban tidak bernafas spontan, maka dilakukan bantuan nafas/ventilasi sebanyak dua kali.
C adalah Circulation. Artinya, penolong menilai fungsi jantung korban dalam memompa darah ke seluruh organ. Penilaian dilakukan dengan meraba arteri karotis komunis pada korban dewasa, atau arteri brakialis pada korban bayi. Jika tidak teraba denyutan arteri karotis, berarti korban mengalami kegagalan sirkulasi. Penolong harus segera melakukan pijatan jantung luar yang dikombinasikan dengan bantuan nafas.
Secara teoritis, langkah-langkah Resusitasi Jantung Paru dapat dengan mudah dipelajari dan dipahami. Namun kendala yang sering terjadi adalah kegugupan penolong ketika benar-benar dihadapkan pada keadaan nyata di lapangan. Dalam kondisi gugup, bisa saja semua langkah yang dipelajari akan menguap begitu saja. Di sinilah itulah pentingnya ”jembatan keledai” DR minta tolong ABC sebagai salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar